Oleh Sayuti*
DI banyak ruang kelas, guru masih dianggap sebagai sosok “suci” yang tidak boleh dipertanyakan, apalagi disangkal. Dipuja, disanjung, ditakuti bahkan didewakan rasa-rasanya sudah menjadi bagian legitimasi dan supremasi guru. Harus dan wajib diberikan murid kepada mereka. Tentu tidak ada yang salah dengan pujian, sanjungan, kesegananan.
Tapi, ketika porosnya berubah menjadi keinginan yang berlebihan, maka saat itu kita harus berhenti sejenak, mengambil jeda dan mulai bertanya. Apakah akhir-akhir ini kita sedang atau sering berhadapan dengan pendidik yang cacat salah satu kompetensi substansialnya? Apakah benar jika gejala gangguan narsistik telah menimbun dan mengurai kompetensi kepribadian guru sehingga mereka sudah menghadap kiblat yang salah?
Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik adalah kondisi psikologis yang dapat ditandai dengan kebutuhan besar akan pujian, perasaan superioritas, dan minimnya empati terhadap orang lain. Meskipun tidak semua orang dengan sifat narsistik mengidap NPD, namun ketika gejala-gejalanya sudah mengganggu hubungan sosial dan profesionalitasnya secara signifikan, maka ini tentu sudah menjadi persoalan serius.
Dalam dunia pendidikan, NPD bisa muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, guru yang merasa dirinya selalu benar, menolak dikritik, tidak memberi ruang dialog, bahkan marah-marah jika murid tidak menunjukkan rasa kagum yang cukup. Kalau sudah begitu, perilaku tersebut bukan lagi sebatas soal prinsip dan ketegasan, melainkan soal ego yang sudah menimbun dan menimpa guru tersebut.
Guru semestinya mengambil peran sebagai fasilitator pembelajaran, bukan pusat dari alam semesta. Namun, dalam beberapa kasus, kita melihat guru yang justru menjadikan dirinya sebagai poros kelas: segala diskusi harus mengarah padanya, gagasan murid dipatahkan, dan keberhasilan murid dianggap sebagai keberhasilannya semata. Jika, prestasi muridnya tidak terkenal. Kalau terkenal….? dan bahkan, tidak jarang, guru seperti ini cenderung merasa terancam ketika ada murid yang menonjol. Padahal Cuma murid. Kuatir jika penguasaan, pengetahuan dan keterampilan murid lebih baik ketimbang gurunya. Belum lagi jika koleganya yang berkembang lebih cepat. Sudah barang pasti.
Meskipun sesekali tampak tenang dan ceria, sebenarnya di balik layar, mereka mungkin merasa kosong, takut kehilangan kontrol, atau cemas dianggap biasa-biasa saja. Untuk menutupi hal itu, mereka membangun citra sempurna, menuntut kekaguman, dan terus-menerus mengintervensi orang lain.
Gejala narsisme dalam dunia pendidikan bukan hanya berbahaya bagi iklim belajar, tetapi juga membahayakan proses pembentukan karakter murid. Ketika guru hanya fokus pada citra diri dan pengaruh pribadi, ruang untuk kolaborasi, kebebasan berpikir, dan keberanian murid untuk bertanya menjadi terberangus. murid tidak tumbuh sebagai pemikir merdeka, tetapi sebagai pengikut yang takut salah. Tidak tumbuh menjadi berani, karena takut dimarahi dan diancam nilai ujiannya.
Di sisi lain, kolega guru yang mengalami tekanan dari tipe guru seperti ini bisa merasa terkekang, tidak berkembang, atau bahkan kehilangan motivasi karena intervensi dan dominasi yang tidak sehat.
Lalu, kenapa hal sedemikian bisa terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi. Diantaranya Budaya pendidikan yang hierarkis dan inspiritualist, minimnya supervisi psikologis terhadap pendidik, serta glorifikasi terhadap “guru ideal” yang kaku bisa memicu kondisi ini. Belum lagi, perkembangan media sosial yang cukup berpangaruh dalam membentuk pola sindrom ini dalam kepribadian guru. Sebab lain, bisa jadi karena trauma masa lalu yang belum selesai, persoalan harga diri dan tekanan pencitraan yang manipulatif. Sungguh disayangkan, jika kelas menjadi panggung ekspresi untuk mengobati luka-luka itu, dan murid malah jadi korbannya.
Jadi, Sudah saatnya institusi pendidikan melihat pentingnya kesehatan mental guru. Evaluasi kepribadian dan dukungan psikologis-spiritualis perlu menjadi bagian dari pengembangan profesional. Pemutakhiran sistem hirariki institusi pendidikan yang hirarkis nan kaku (non-moderat), pembentukan budaya pendidikan yang inklusif serta sistem umpan balik dari murid dan kolega harus dilembagakan untuk mewujudkan ruang yang ideal bagi pendidikan murid.
Pendidikan sejatinya adalah soal hubungan atau relasi yang sehat antara guru dan murid, antara guru dan koleganya. Guru bukan pusat semesta, tetapi bagian dari sistem yang saling belajar, tumbuh, dan berkembang. Menjadi guru adalah tentang melayani, bukan dimuliakan. Kemuliaan dan kehormatan adalah bonus dari apa yang dituai karena kinerja yang ikhlas, dedikasi, integritas dan lillahi ta’ala. Dan jika anda adalah murid dan kolega mereka, maka anda tidak boleh diam. Karena jika diam, berarti kita sedang mempertaruhkan kesalihan peradaban di masa mendatang.
*Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah – Universitas Islam Aceh
Pentingnya dukungan psikologis-spiritualis disebutkan sebagai solusi. Apakah ada studi kasus atau contoh nyata di Indonesia atau negara lain di mana intervensi psikologis-spiritualis berhasil mengatasi narsisme pada guru, dan bagaimana hasilnya berdampak positif pada iklim belajar di kelas?
Memang, hingga saat ini belum banyak ditemukan studi yang secara eksplisit meneliti intervensi psikologis-spiritualis terhadap gejala narsisme pada guru, terutama dalam konteks pendidikan di Indonesia. Namun pendekatan berbasis nilai-nilai ruhani sesungguhnya sudah lama menjadi bagian dari proses pemulihan batin dalam tradisi Islam. Konsep seperti tazkiyatun nafs, mujahadah, dan penguatan keikhlasan melalui laku tasawuf telah menjadi bagian dari lumbung kearifan kita, walau belum semua dikemas dalam bentuk intervensi formal yang terdokumentasi secara akademik.
Tulisan opini ini berangkat dari keprihatinan dan kepekaan terhadap kondisi sosial yang dirasakan, bukan dari posisi otoritatif sebagai peneliti narsisme. Karena itu, alih-alih menjadi simpulan ilmiah yang final, ia lebih dimaksudkan sebagai pembuka ruang diskusi dan ajakan untuk melihat persoalan guru dan narsisme dari perspektif yang lebih menyeluruh, termasuk dimensi spiritualnya.
Beberapa pendekatan seperti Qur’anic healing, pembinaan guru berbasis tasawuf urban, dan terapi ruhani yang dikembangkan di beberapa komunitas Islam modern, dapat menjadi titik awal eksplorasi. Harapannya, tulisan ini dapat mendorong hadirnya penelitian lanjutan dan kolaboratif yang menghubungkan antara pendekatan psikologis dan spiritual dalam ruang pendidikan.
Wallāhu a‘lam. Sekali lagi, terima kasih atas pertanyaannya yang sangat memantik. matur nuwun.