Oleh Sayuti*
CERITA dimulai pada suatu malam di kedai kopi punya sahabat saya. Setelah menekan tombol “save” pada lembar kerja/projek lembaga yang tak kunjung selesai sudah berhari-hari. Sebab sudah sangat penat, Saya tutup semua halaman tentang bacaan berat, regulasi, rencana strategis, dan mulai santai: kopi pancong Rumoh Tuha dan YouTube memang memberikan energi yang berbeda. Lalu, saat saya menyegarkan beranda, tampak thumbnail Rocky Gerung di forum Soemitro Economic Forum.
Dari kuliah singkat ketika Gerung dapat giliran bicara, sebuah istilah cukup unik melompat ke permukaan. Kontras dan membuat saya terkagum: Homo Ekonomikus In Forma. Sebenarnya, istilah Homo Ekonomikus cukup populer di kalangan anak-anak ekonomi, karena merujuk pada istilah klasik yang biasa digunakan Adam Smith, John Stuart Mill, dan lain-lain. Arti singkatnya, manusia sebagai makhluk yang membuat keputusan demi kepentingan ekonominya sendiri. Sifatnya efisien, logis, individualistis. Rasanya cukup egois.
Nah, transformasi terjadi ketika Gerung menambahkan istilah in forma (Latin: dalam bentuk) sebagai sambungan. Sehingga kira-kira maksudnya begini: “Ekonom sekarang tidak lagi berpegang pada etika (sebagaimana gagasan Soemitro) dalam menjalankan profesinya, karena mereka telah dibentuk oleh sistem sehingga menjadi ekonom yang hanya hidup untuk efisiensi, keuntungan, kompetisi, dan individualisme. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, kenyataannya demikian akhir-akhir ini.”
Cukup sampai di situ karena saya bukan ahli di bidang itu. Uraian di atas hanya sebagai kalam pembuka untuk mengajak kita merefleksikan: bukankah benar bahwa semua aspek, lingkar, dimensi, elemen, dan unsur kehidupan telah menjadikan kita sebagai homo ekonomikus in forma dalam berbagai sistem, termasuk sosial, budaya, politik, bahkan pendidikan sekalipun?
Padahal, pendidikan merupakan sebuah dimensi yang sama sekali berbeda dari ekonomi. Meskipun pendidikan sering dieja sebagai investasi jangka panjang dalam pembangunan masyarakat, Namun konsep ini menjadi tidak relevan jika manusia berubah menjadi homo ekonomikus yang individualistik, terlalu pragmatis, dan materialistik.
Kenyataan di lapangan, kita bisa menafsirkannya secara mandiri dan pasti. Satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta, sama-sama telah menjadikan murid sebagai konsumen yang membeli jasa pendidikan. Lembaga pendidikan malah menjelma menjadi entitas bisnis. Gerakannya diukur dengan indikator kuantitatif, seperti rasio seleksi, jumlah publikasi, masa studi, waktu tunggu kerja, hingga berapa besaran gaji lulusan pun dipertanyakan.
Murid kini tak lagi dipandang sebagai subjek pembelajar yang bebas, melainkan sebagai konsumen yang membeli layanan pendidikan. Sesudah itu, ditakut-takuti pula. Satuan pendidikan berubah menjadi entitas bisnis, diukur oleh metrik-metrik kuantitatif: jumlah publikasi, nasional, internasional, akreditasi, hingga melacak alumni sudah melanjutkan studi kemana atau kerja di mana?
Guru juga tidak bisa lepas dari logika ini. Yang seharusnya mengajar, membimbing, dan menumbuhkembangkan potensi murid, malah seperti mesin pencetak output kerja. Laporan, jurnal, paten, HaKI, daftar sitasi, dan seterusnya. Memang tujuannya bagus. Demi untuk menciptakan suasana belajar yang kontekstual, dosen, misalnya dituntut mengadakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat masing-masing satu kali dalam satu semester.
Namun kenyataannya? Iya, benar. dosen mengerjakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tapi apakah benar hasilnya dibaca dan digunakan oleh masyarakat? Ya, sembarang saja. Kualitasnya nomor 127. Yang penting, kewajiban upload jurnal rampung, Akred Sinta-nya ketat untuk digembyar-gembyor ke rekan sejawat. Tidak masalah meskipun nilai gunanya rendah. Asal jangan ganggu pangkat, gaji sertifikasi, dan hal-hal pragmatis lainnya.
Jadi, sistem dan homo ekonomikus in forma sedang saling bahu membahu menghasilkan “cuan kecil-kecil” untuk bisa kaya bagi siapa saja yang kecipratan. Korbannya: dosen-dosen polos nan miskin. Kadang harus membayar biaya upload jurnal Sinta dengan gaji mengajar. Begitu terus, terjadi berulang-ulang. hingga ilmu pengetahuan bukan lagi menjadi kiblat pencerahan, melainkan instrumen karier yang harus ditunaikan tanpa henti.
Kita tahu, pemerintah sedang berupaya meningkatkan sumber daya manusia dengan menaikkan APK kasar, agar sebagian besar masyarakat mengenyam pendidikan S1. Tapi saya, dan mungkin kita semua, bisa memastikan bahwa sejatinya lembaga pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia berijazah. Syukur kalau mereka terampil.
Kalau tidak? Dan yang membuat semakin miris, murid kita sedang ditimpa kemiskinan akan makna dan nilai. Maaf, harus saya katakan ini. Tapi, teman-teman juga pasti menyadarinya. Maka saya setuju dengan kata Paulo Freire, bahwa pendidikan seperti ini tidak membebaskan manusia, melainkan menindas mereka secara halus.
Sahabat saya, Ust Malik Adharysah – Kapan-kapan kita bahas tentang beliau: “Raja Malik dan Sudanisme.” Pernah bilang bahwa dalam sejarah peradaban Islam klasik, pendidikan berjalan secara gratis dan manusiawi karena didukung oleh sistem wakaf produktif.
Lembaga-lembaga seperti Madrasah Nizamiyah di Baghdad, Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Al-Azhar di Kairo, Dar al-‘Ilm, dan Madrasah Mustansiriyah menyediakan pendidikan, asrama, makanan, dan buku tanpa pungutan biaya. Semua ini dibiayai dari wakaf berupa pasar, toko, lahan pertanian, rumah, dan properti komersial lainnya yang dikelola oleh nazhir (pengelola wakaf). Hasil dari wakaf tersebut digunakan untuk membayar gaji guru, membiayai kebutuhan mahasiswa, dan memelihara fasilitas pendidikan.
Sistem ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam pernah mencapai puncaknya dengan mekanisme pendanaan yang berkelanjutan, berbasis spiritualitas, sosial, dan keadilan.
Kita pasti 100% setuju dengan sistem pendidikan yang pernah ditorehkan dalam peradaban islam tersebut. Di mana, ilmu tidak diperjualbelikan, sebab ia adalah amanah dari Tuhan, sarana menuju kebijaksanaan dan bermuara kepada ketakwaan. Maka tak heran jika tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Biruni tidak hanya belajar satu disiplin, tetapi melampaui sekat-sekat: dari filsafat ke kedokteran, dari musik ke astronomi.
Akhirnya, jika mengenang sejarah Islam dalam Kesultanan Aceh, Saya rasa Aceh bisa. Dengan berbagai komposisi, seperti budaya, agama, karakteristik rakyat dan regulasi yang dimiliki saat ini sudah mulai mendekati. Tinggal pelan-pelan, melalui kesungguhan dan kesadaran betapa pentingnya pendidikan dalam merawat agama dan bangsa, upaya revolusi terhadap karakteristik eksistensi pendidikan islam pasti akan kembali ke bentuk semula.
Memang, berbicara itu gampang. Melakukannya yang susah. Tapi, hal ini bukan saya ratapi. Hanya ingin mengajak teman-teman untuk mengenal kembali sistem pendidikan kita, yang mungkin sudah kita lupakan. Karena kita telah terlalu sibuk dan terjerembab ke dalam sistem pendidikan barat, yang pada akhirnya, hanya bermuara pada kesejahteraan Donald Trump dan Benjamin Netanyahok serta orang yang serupa dengannya.
*Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah – Universitas Islam Aceh
Belum ada komentar